Rabu, 04 November 2015

Aku dan Karimun #1


Tak terasa hidup di tanah melayu. Tanah yang katanya kaya akan sumber daya laut, namun tak pernah dinikmati anugrahnya olehku, karena airnya bak lautan susu milo, kini sudah menginjak bulan ketiga.
Kebetulan di tempatkan SDN 005 Belat, di Pulau Degong, Desa Degong, Kecamatan Belat, Kabupaten Karimun.

Penempatan yang benar benar terpencil, di sebuah pulau yang jauh dari mana mana, yang penduduknya sedikit, dan tanpa ada transportasi layaknya di pulau lain, yang setiap jamnya ada. Di tempatku hanya 1 kapal saja yang mengangkut penumpang, itu pun sekali sehari.
Mata pencaharian di sini, tertuliskan di KTP sebagai nelayan ikan, namun kenyataannya mereka menjual jaring ikan mereka. Dan beralih menjadi nelayan minyak. Ironi memang, tapi keadaan alam dan keadaan dompet yang memaksa untuk mencari pendapatan lebih. Sangat jarang ikan bisa  hidup di air keruh, dan meskipun dapat ikan sekalipun, nilai jualnya sangatlah tidak sebanding dengan harga minyak kapal dan perjuangan para nelayan. Itulah alasannya lebih memilih seperti itu, nelayan minyak. Selain itu, ada juga yang berkayar menjajakan barang dagangan seperti buah buahan, sayur sayuran dan bahan pokok lainnya di pelabuhan Singapura, karena daya jual di sana lebih tinggi dibandingkan di pasar di pulau Kundur. Ada juga kebiasaan dan pekerjaan lain yang sering dilakukan, yaitu noreh, atau disebut mencari getah karet. Hasil dari penjualannya memang tidak seberapa, hanya 20-30 rb perkilo. Tapi masyarakat sini masih mempertahankannya.




Itu dilihat dari segi pencahariannya, namun dari kebiasaannya, masyarakat di sini bisa terbilang malas, kenapa? Karena banyak waktu mereka terbuang sia-sia. Misalnya, setiap sore para perempuan biasanya hanya duduk manis di rumahnya, lihat laut di pelabuhan, karaoke d rumahnya, bahkan ada yang selalu menonton suaminya main bola. Apa salahnya, mereka membuat usaha pembuatan makanan atau usaha kerajinan. Padahal di sini sumber makanan seperti kelapa dan buah-buahannya banyak, terus bahan alam seperti daun pandan dan sejenis pohon kelapa, mereka bisa olah menjadi tikar atau olahan lainnya. Kegiatan kepemudaan di sini hanya bermain sepak bola setiap petang, pukul 5. Merek bermain sepak bola, tepat di belakang rumahku. Rumah tempatku bermimpi tiap malamnya. Rumah yang bertetangga hanya 1 rumah, sisi satunya dengan rumah Allah, Mesjid Baiturahman, dan di depan rumahnya tepat sekolahku, tempatku mendidik dan mencerdaskan anak bangsa.
Tidur di rumah dinas kepala sekolah, dengan alas keramik putih, dinding bertembok, atap zeng, dan kamar mandi di dalam walau tanpa air. Plus peneman tidur, siswa kelas 4, pizan namanya.
Rumah itu sudah sepatutnya dijaga, sampai 10 bulan ke depan. Harus dianggap rumah sendiri. 
Walaupun kesan pertama, bermalam di rumah ini sangat panas, badan terasa di spa. Tapi tak berdampak pada kulit, yang memutih, malah sama saja belang, bekas prakondisi dari para hulubalang.
Semoga tanah melayu ini bisa memberikan segala hal pembelajaran yang baik untukku dan 39 teman lainnya di berbagai pulau.
Semoga tulisan ini bisa bertambah pada coretan selanjutnya.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

terima kasih :) Merlina